Mahasiswa dan Kemandirian Pangan

Sumber gambar: situspintar.com

Pada 2017, produktivitas tebu nasional diperkirakan hanya mencapai 5,4 ton perhektar. Angka tersebut lebih rendah daripada proyeksi 2016 sebesar 7,75 ton perhektar dari produksi 2,72 juta ton dengan luas lahan 473 ribu hektar. Hal tersebut mengharuskan Indonesia harus mengimpor gula dari luar negeri untuk memenuhi permintaan konsumsi gula yang semakin meningkat (Katadata, 2017).

Menanggapi hal tersebut, pemerintah membatalkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% terhadap petani tebu karena mendapat penolakan dari berbagai pihak. Kebijakan tersebut dianggap merugikan petani disebabkan rendahnya rendemen dan produktivitas tebu. Selain itu, hal tersebut semakin memberatkan petani karena tingginya biaya produksi dan adanya pembatasan harga eceran tertinggi pada tebu (Katadata, 2017).

Fakta di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa produksi tebu nasional kita masih cukup rendah. Mengingat terjadinya peningkatan permintaan konsumsi tebu  dalam negeri, maka diperlukan upaya nyata untuk melakukan peningkatan produksi tebu nasional. Hal tersebut bertujuan guna memenuhi permintaan konsumsi gula dalam negeri. Jika permintaan terpenuhi, maka kemungkinan besar pemerintah tidak akan melakukan impor gula sehingga kemandirian pangan dapat tercapai.

Cita-cita kemandirian pangan tersebut haruslah disokong oleh segenap elemen bangsa. Bangsa kita adalah bangsa yang majemuk dan proses untuk mendirikan bangsa ini pun tidaklah mudah. Sejarah telah membuktikan bahwa diperlukan perjuangan dan pengorbanan dari segenap rakyat agar bangsa dan negara ini dapat berdiri kokoh. Tidak peduli apa pun profesinya – petani, pekebun, nelayan, tukang rongsokan, tukang pahat, fisikawan, biolog, kimiawan, politikus, pengacara, matematikawan – semuanya punya cara untuk berkontribusi demi berdirinya bangsa dan negara ini sampai sekarang. Tak kalah pentingnya adalah mahasiswa.

Mahasiswa memiliki kedudukan tersendiri di mata rakyat Indonesia. Rakyat begitu menaruh harapan lebih pada mahasiswa sebagai batu sandungan perkembangan dan kemajuan bangsa. Namun, itu semua tergantung dari niat dan itikad mahasiswa itu sendiri. Apakah ia mau untuk mengembangkan dirinya sendiri? Apakah ia mampu untuk mendayagunakan segenap potensi yang ia miliki? Itu semua kembali kepada individu masing-masing selaku mahasiswa.

Maka, dari situ, kita tentunya lebih memahami untuk mengambil peran mana: pengacau atau pembangun. Telah nyata bagaimana hasil dari mahasiswa yang lebih memilih menjadi pembangun. Kita tentunya masih ingat bagaimana peristiwa 1998 dapat terjadi. Sebuah pemerintahan diktator tanpa kritik yang berhasil membawa bangsa dan negaranya dalam kemakmuran swasembada pangan pun berhasil ditumbangkan oleh mereka, dan digantikan oleh pemerintahan yang lebih arif dan bijaksana dalam menerima kritik (seharusnya begitu). Kita hanya perlu mengulangi kejayaan itu lagi – swasembada pangan dan kemandirian pangan. Dan tentunya, diperlukan tenaga ahli yang dapat dihasilkan dari proses pendidikan dan pengajaran yang baik ketika ia menjadi seorang mahasiswa.

Kuncinya hanya satu: kesanggupan mendayagunakan potensi yang ada. Kerahkan semua tenaga untuk mengembangkan diri. Kita harus benar-benar serius dalam mendalami disiplin ilmu kita, serta mengasah kemampuan softskill kita dengan menjadi bagian dari pergerakan kreativitas mahasiswa. Maka dengan begitu, keberhasilan bangsa kita dalam memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dapat menjadi suatu keniscayaan.

Inilah kita, mahasiswa di republik ini. Kita harus sanggup mendayagunakan segenap potensi yang kita miliki. Semoga ketika lulus nanti, kita selaku alumni institusi pendidikan tinggi dapat berkontribusi aktif demi kemajuan bangsa Indonesia. Maka, jargon pemuda adalah penggerak perubahan pun bukan hanya jargon belaka, tapi sebuah kenyataan yang diniscayakan oleh rakyat.

Setinggi yang kau bisa, senyaman yang kau rasa
(Henky Yoga Ari Pratama)

Yogyakarta, 5 Agustus 2017

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer